Menyaksikan Tabuh Bedug di Anjungan Sungai Malili, Begini Sejarahnya
TAPOJIE.COM — Anjungan Sungai Malili sangat padat. Puluhan bedug dengan berbagai hiasan berjejeran. Sungguh malam takbiran yang menyenangkan, Jumat malam, (21/4/2023).
Tepat di depan pintu utama Masjid Agung Malili, disediakan panggung yang cukup megah. Di sinilah bedug yang berjejeran tadi akan dimainkan secara bergantian. Tak hanya disaksikan dewan juri, Bupati Lutim, Budiman Hakim, Ketua DPRD Lutim Arifin, Wakil Ketua I DPRD Lutim, HM Siddiq BM, Kapolres Lutim AKBP Silvester Simamora dan Dandim juga menyaksikan penampilan para tim penabuh bedug.
Sejumlah Kepala OPD, Camat, beserta kepala desa juga turut hadir menyaksikan penampilan para penabuh bedug. Meski irama tabuhan dan bunyi bedug setiap peserta berbeda-beda. Semuanya menampilkan pertunjukan yang menarik dan luar biasa.Akan sulit menentukan siapa pemenangnya.
Penilaian dipercayakan kepada dewan juri. Masyarakat yang hadir hanya ingin menikmati suara tabuhan bedug yang nyaris tak pernah kedengaran selama setahun terakhir. Trobosan ini menjadi obat rindu masyarakat Luwu Timur.
“Malam ini kita lakukan kegiatan yang berbeda dari biasanya. Dulu kita keliling pawai, namun kali ini kita berinovasi melakukan tabuh bedug di Anjungan Sungai Malili. Untuk itu saya menyampaikan terima kasih kepada seluruh stakeholder dan masyarakat Luwu Timur,” kata Budiman.
Budiman terlihat sangat senang menyaksikan penampilan penabuh bedug. Baginya, semua peserta memiliki ciri khas masing-masing. Sehingga, dirinya berharap, kegiatan tabuh beduk ini terus digaungkan. Minimal setahun sekali.
Wakil Ketua I DPRD Luwu Timur, HM Siddiq BM juga terlihat sangat antusias dan bahagia menyaksikan penampilan setiap penabuh bedug. Baginya, semua peserta juara di hati masyarakat yang menyaksikan.
Ingin rasanya untuk duduk lebih lama menyaksikan dan mendengarkan tabuhan bedug. Namun, lebaran Idulfitri 1444 H harus disambut ke esokan harinya dengan penuh semangat. Lebih semangat dari malam ini.
“Terima kasih kepada seluruh stakeholder dan masyarakat Luwu Timur. Semangat di bulan suci Ramadan ini sungguh luar biasa. Semoga kita semua mendapatkan berkah dan limpahan rahmat oleh Allah SWT. Aamiin YRA,” tutur Siddiq BM.
* Sejarah Bedug
Di Indonesia, menabuh bedug adalah tradisi sebelum mengumandangkan azan. Antara azan dan bedug, keduanya merupakan suatu simbol syiar agama, sebagai alat komunikasi dalam menyeru ibadah salat.
Tradisi menabuh bedug sendiri, telah digunakan sejak ribuan tahun lalu. Keberadaannya di Nusantara disinyalir berasal dari bangsa India dan China. Dadan Sujana dalam buku berjudul Identifikasi Kesenian Khas Banten menyebutkan pada abad ke-15 Laksamana Cheng Ho singgah di Semarang dan memberikan hadiah bedug kepada Sang Raja.
Cerita versi lain seputar asal-usul bedug dijelaskan oleh seorang komandan ekspedisi Belanda, Cornelis de Houtman, dalam catatan perjalanannya, De Eerste Boek. Menurutnya, eksistensi bedug sudah meluas pada abad ke-16.
Saat Komandan Ekspedisi Belanda itu tiba di Banten, setiap perempatan jalan digambarkan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan menggunakan tongkat pemukul. Fungsi genderang tersebut, sebagai tanda bahaya dan penanda waktu.
Kesaksian Cornelis de Houtman ini jelas menunjukkan pada keberadaan bedug di Nusantara. Melansir sumber yang sama, keberadaan bedug yang semakin masif kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang diimplementasikan oleh Wali Songo sekitar abad ke-15/16.
Oleh penganut kepercayaan Kapitayan, bedug menjadi salah satu tambuh untuk sembahyang. Setelah itu, diaplikasikan lebih lanjut oleh Wali Songo sebagai penanda masuknya waktu salat lima waktu. Hal ini dilakukan seperti ditulis Kees van Dijk dalam buku Perubahan Kontur Masjid, mengingat sebelum abad ke-20 masjid-masjid di Asia Tenggara belum memiliki menara untuk mengumandangkan azan.
Sebagai gantinya, para Wali Songo melengkapi masjid-masjid dengan sebuah genderang besar (bedug) yang dipukul sebelum azan dikumandangkan. Dalam hal ini, tampaknya fungsi bedug bukan semata untuk mengumandangkan azan tetapi sebagai strategi dakwah dari Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga untuk mempercepat penerimaan masyarakat terhadap agama Islam. (*)